Contoh Hasil Penelitian Rijal al-Hadis

Posted on Updated on

  1. A.    Teks Hadis

أَخْبَرَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ وَوَكِيعٌ قَالَا حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ مَخْلَدِ بْنِ خُفَافٍ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ الْخَرَاجَ بِالضَّمَانِ

Artinya: “Telah mengabarkan kepada kami Ishaq ibn Ibrahim, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Isa ibn Yunus dan Waki’ mereka berkata; telah menceritakan kepada kami ibn Abu Dzi`b dari Makhlad ibn Khufaf dari ‘Urwah dari ‘Aisyah ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan bahwa manfaat yang di dapat disertai dengan tanggungan”.[1]

Untuk menyatakan keshahihan sebuah hadis, di dalam kaidah ilmu hadis dinyatakan bahwasanya yang perlu diteliti pertama kali adalah sanadnya. Jika penelitian mengenai sanad telah selesai, barulah kemudian dilakukan penelitian pada aspek matan. Bila hal tersebut tidak dilakukan, maka matannya akan dipandang tidak shahih lagi. Pada hadis di atas, berikut ini akan dilacak identitas para perawinya. Dengan skema jalur sebagaimana berikut ini: Nabi SAW > ‘Aisyah > ‘Urwah > Makhlad ibn Khufaf > ibn Abi Dzi’b > Waki’ & ‘Isa ibn Yunus > Ishaq ibn Ibrahim > an-Nasa’i.

  1. B.     Penelitian Rijal Hadits
  2. ‘Aisyah

Nama lengkap beliau adalah ‘Aisyah binti ‘Abdullah ibn Utsman ibn Amir ibn Amr ibn Ka’ab ibn Sa’d ibn Tayim ibn Marrah. Merupakan Putri dari Sayyidina Abu Bakar RA dan juga Istri Nabi SAW, memiliki laqab Ummul Mu’minin. Sedangkan kuniyahnya adalah Ummu ‘Abdullah.[2] Wafat pada malam selasa tanggal 17 Ramadhan tahun 57 H dan dimakamkan di Baqi’ Madinah.[3] Mengenai kredibilitas beliau maka tidak perlu ditanyakan lagi mengenai ke-‘adalah-annya. Ibn Hibban berkomentar bahwa ‘Aisyah adalah istri Nabi,[4] Ummul Mu’minin wanita yang paling faqih di antara wanita yang lain.[5]

Selain berguru kepada Nabi SAW beliau juga berguru kepada sahabat yang lain seperti Sa’ad ibn Abi Waqqash, Umar ibn Khattab, Abu Bakar as-Shiddiq, Jadamah binti Wahab dan lain sebagainya.[6] Di antara murid-murid beliau adalah: Ibrahim ibn Yazid, Ishaq ibn Thalhah, ‘Urwah, Harits ibn Naufal dan yang lainnya.[7]

  1. ‘Urwah

Nama panjangnya adalah ‘Urwah ibn Zubair ibn ‘Awam al-Qarsyi. Seorang sahabat yang bertempat tinggal di Madinah, kuniyahnya adalah Abu ‘Abdillah. Saudara dari ‘Abdullah ibn Zubair. Ada pendapat yang mengatakan beliau meninggal pada tahun 94 H atau 95 H atau tahun 99 H di Madinah.[8]

Ibn Hibban mengatakan bahwa ‘Urwah merupakan ‘ulama dan juga salah seorang yang utama di Madinah[9] dan di dalam kitabnya, ibn Hajar al-Asqalani berkata: “Urwah ibn Zubair merupakan seorang yang tsiqah, faqih, dan masyhur.[10]

Adapun guru-gurunya adalah: ‘Amrah binti ‘Abdurrahman, Ummul Mu’minin, Fathimah binti Qaisy, dan lain-lain.[11] Sedangkan di antara murid-muridnya adalah: Abu Ja’far al-Anshari, Ismai’l ibn Abi Hakim, Makhlad ibn Khufaf.[12]

  1. Makhlad ibn Khufaf

Nama lengkapnya adalah Makhlad ibn Khuffaf ibn Ima’ ibn Rahdlah al-Ghifariy.[13] Pernah ber-rihlah di sekitar daerah Madinah dan Ghifar.[14] Adapun tahun kelahiran dan tahun wafatnya tidak diketahui.

Imam ibn Hajar al-Asqalani menilai beliau dengan Maqbul.[15] Di dalam kitabnya al-Tsiqat, ibn Hibban mengatakan bahwa Makhlad ibn Khufaf hanya memiliki satu guru saja yakni ‘Urwah dan seorang murid yaitu Abi Dzi’b.[16] Al-Azdi menilainya dhaif[17] sebagaimana al-‘Aqili mengatakan hal yang sama.[18]

  1. ibn Abi Dzi’b

Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn ‘Abdurrahman ibn al-Mughirah ibn Abi Dzi’b. Lahir pada tahun 82 H. Ibn Hanbal mengatakan bahwa ibn Abi Dzi’b meninggal pada tahun 159 H.[19] Sedangkan kuniyahnya adalah Abu al-Hasits dan laqabnya ibn Abi Dzi’b. Madzhab yang beliau anut adalah Qadariyah. Melakukan rihlah di Madinah dan juga Kufah. Keterangan ‘ulama menyebutkan bahwa beliau merupakan orang yang tsiqah. Ibn Hajar berkata bahwa dia adalah seorang yang tsiqah dan faqih.[20] Hal ini disetujui oleh ibn Hanbal yang mengatakan tsiqah shaduq.[21]Al-Khatib al-Baghdadi mengatakan: “Dia adalah orang yang faqih, shalih, dan wira’i.[22]

Di antara guru-gurunya adalah: Ishaq ibn Yazid, Jabir ibn Abi Shalih, Hasan ibn ‘Ali ibn Abi Thalib,  Makhlad ibn Khufaf. Dan murid-muridnya adalah: Ishaq ibn Sulaiman, ‘Isa ibn Yunus, Husain ibn Muhammad, Waki’ ibn Jarh, dan lain-lain.[23]

  1. ‘Isa ibn Yunus dan Waki’
  2. ‘Isa ibn Yunus

Nama aslinya adalah ‘Isa ibn Yunus ibn Abi Ishaq.[24] Masyhur dengan sebutan ‘Isa ibn Yunus al-Sii’i. Kuniyahnya Abu Yunus dan Abu Muhammad. Memiliki laqab ibn Abi Ishaq dan merupakan saudara dari Israil ibn Yunus. Beliau wafat pada tahun 187 H, dan melakukan pelawatan di Kufah dan Syam.

Abu Hatim, Ya’qub ibn Syaibah, an-Nasa’i, dan ibn Kharrasy mengatakan bahwa beliau adalah tsiqat.[25] Di antara guru-gurunya adalah: al-Akhdhar ibn ‘Ajlan, Usamah ibn Zaid, Ja’far ibn Maimun, Muhammad ibn ‘Abdurrahman, dan lain-lain. Sedangkan beberapa muridnya adalah: Ahmad ibn Dawud, Ishaq ibn Ibrahim, Ishaq ibn Isma’il, Isma’il ibn Abban, dan lain sebagainya.[26]

  1. Waki’ ibn Jarh

Ishaq ibn Ibrahim tidak hanya mendapatkan hadis ini dari ‘Isa ibn Yunus, beliau juga mendapatkannya dari Waki’ ibn Jarh. Nama lengkapnya adalah Waki’ ibn al-Jarh ibn Malih al-Ru’asiy Abu Sufyan al-Kufi.[27] Kuniyahnya adalah Abu Sufyan, dan lebih dikenal dengan nama Waki’ ibn al-Jarh al-Ru’asiy. Lahir pada tahun 128 H dan wafat pada sekitar akhir tahun 196 H dan awal tahun 197 H.[28] Beliau hanya bertempat di Kufah saja.

Komentar ulama mayoritas menyatakan tsiqah, sebagaimana ibn Hajar mengatakan: “Beliau adalah seorang yang tsiqah hafidz[29] dan juga pernyataan Abu Hatim ar-Razi.[30]

Di antara guru-gurunya adalah: Abban ibn Sham’ah, ‘Abdurrahman ibn al-Mughirah, Ibrahim ibn Isma’il, Ibrahim ibn Yazid, dan lain sebagainya.[31] Sedangkan di antara murid-muridnya adalah: Ahmad ibn Hanbal, Ahmad ibn Syu’aib, Ishaq ibn Ibrahim, dan lain sebagainya.

  1. Ishaq ibn Ibrahim

Ishaq ibn Ibrahim memiliki nama asli Ishaq ibn Ibrahim ibn Makhlad ibn Ibrahim ibn Mathr.[32] Namun beliau lebih dikenal dengan nama Ishaq ibn Rahwiyah al-Marwazy. Kuniyahnya adalah Abu Ya’qub, dan memiliki laqab Ibn Rahwiyah. Lahir pada tahun 161 H dan wafat di Naisabur pada 238 H. Beliau melakukan pelawatan ke Iraq, Hijaz, Yaman, Syam, dan kembali ke  Khurasan dan bertempat tinggal di Naisabur sampai meninggal.[33]

Beberapa penilaian ‘ulama atas Ibrahim ibn Ishaq adalah seperti berikut ini: Di dalam kitabnya Tahdzib al-Kamal, al-Mizzi menerangkan bahwa beliau merupakan seorang ulama’ hadis dan fiqh bergelar al-Hafidz yang zuhud dan wara’.[34] Imam ibn Hibban mengatakan bahwa Ibrahim ibn Ishaq adalah seorang fuqaha’ dan ulama’ yang hafidz.[35] Adapun Imam ibn Hajar memberikan komentar: “Ibrahim ibn Ishaq adalah tsiqah hafidz dan seorang mujtahid.[36]

Di antara beberapa gurunya adalah: Waki’ ibn Jarh, Wahab ibn Jarir, ‘Isa ibn Yunus, Hisyam ibn Yusuf, dan lain-lain.[37] Sedangkan beberapa muridnya adalah: Ibn Majah, Ahmad ibn Sahl, ‘Abdullah ibn Muhammad, Ahmad ibn Syu’aib, dan lain-lain.

  1. an-Nasa’i

Nama lengkapnya adalah Ahmad ibn Syu’aib ibn Ali ibn Sinan ibn Bahr.[38] Kuniyah beliau ialah  Abu ‘Abdirrahman, sedangkan lafal an-Nasa’i dan an-Nasawi merupakan nisbah kepada tempat asal beliau dilahirkan, yakni suatu kota bagian dari Khurasan. Di antara negeri yang beliau kunjungi adalah sebagai berikut: Khurasan, Iraq; Baghdad, Kufah, Bashrah, Al Jazirah; Haram, Maushil dan sekitarnya, Syam, Perbatasan; perbatasan antara wilayah negeri Islam dengan kekuasaan Romawi, Hijaz, dan Mesir. [39]

Imam ibn Hajar al-Asqalani menyebutnya sebagai al-Qadhi, al-Hafidz dan pengarang kitab Sunan an-Nasa’i.[40] Sebagaimana pendapat yang disampaikan oleh al-Mizzi.[41]

Diantara guru-guru beliau adalah sebagai berikut: Qutaibah ibn Sa’id, Ishaq ibn Ibrahim, Hisyam ibn ‘Ammar, Suwaid ibn Nashr, Ahmad ibn ‘Abdah Al-Dabbi, Abu Thahir ibn as-Sarh, Yusuf ibn ‘Isa az-Zuhri, Ishaq ibn Rahawaih, al-Harits ibn Miskin, Ali ibn Kasyram, Imam Abu Dawud, Imam Abu Isa al-Tirmidzi, dan lain-lain. Sebagian murid-murid beliau adalah: Abu al-Qasim al-Thabrani, Ahmad ibn Muhammad ibn Isma’il an-Nahhas an-Nahwi, Hamzah ibn Muhammad al-Kinani, Muhammad ibn Ahmad ibn al-Haddad asy-Syafi’i, al-Hasan ibn Rasyiq, Muhammad ibn Abdullah ibn Hayuyah an-Naisabur, Abu Ja’far al-Thahawi, Al-Hasan ibn al-Khadir al-Asyuti, Muhammad ibn Mu’awiyah ibn al-Ahmar al-Andalusi, Abu Basyar ad-Dulabi, Abu Bakr Ahmad ibn Muhammad as-Sunni.[42]

  1. C.    Kesimpulan

Hadis berdasarkan sanad di atas memiliki status Hasan. Setelah dilaksanakan penelitian mengenai ketersambungan sanad ada seorang perawi yang memiliki kredibilitas maqbul yaitu Makhlad ibn Khuffaf. Karena pada perawi Makhlad ibn Khuffaf belum ditemukan keterangan eksplisit yang menjelaskan mengenai tahun lahir dan wafat beliau maka jika diukur secara mu’assarah belum bisa disebut bersambung. Namun bila melihat domisilinya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat kemungkinan adanya relasi antara guru dan murid antara Makhlad ibn Khuffaf dengan guru-gurunya maupun murid-muridnya.


[1]Software Lidwa Pusaka 9 Imam.

[2] Software Gawami’ al-Kalim.

[3] Muhammad ibn Hibban ibn Ahmad Abu Hatim at-Tamimi. al-Tsiqat (Dar al-Fikr 1975). Cet I, juz 2, hlm 138.

[4] Ibid.

[5] Ahmad ibn Ali ibn Hajar Abu Fadl al-Asqalani. Taqrib at-Tahdzib (Suriah: Dar al-Rasyid 1986). Cet I, juz 1, hlm 750.

[6] Yusuf ibn Zaki ‘Abdurrahman Abu Hajjaj al-Mizzi. Tahdzib al-Kamal (Beirut: Muassasah al-Risalah 1980). Cet I, juz 35, hlm 227.

[7] Ibid. Hlm 228.

[8] ­­­­Ibn Hibban. al-Tsiqat (Dar al-Fikr 1975). Cet I, juz 5, hlm 194-195.

[9] Ibid.

[10] al-Asqalani. Taqrib at-Tahdzib (Suriah: Dar al-Rasyid 1986). Cet I, juz 1, hlm 389.

[11] al-Mizzi. Tahdzib al-Kamal (Beirut: Muassasah al-Risalah 1980). Cet I, juz 20, hlm 13.

[12] ­­­­Ibn Hibban. al-Tsiqat (Dar al-Fikr 1975). Cet I, juz 7, hlm 505.

[13] Syamsyuddin Muhammad ibn Ahmad adz-Dzahabi. Mizan al-I’tidal fi Naqd al-Rijal (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Alamiyyah 1995). Cet I, juz 6, hlm 388.

[14] Software Gawami’ al-Kalim.

[15] al-Asqalani. Taqrib at-Tahdzib (Suriah: Dar ar-Rasyid 1986). Cet I, juz 1, hlm 523.

[16] ­­­­Ibn Hibban. Al-Tsiqat (Dar al-Fikr 1975). Cet I, juz 1, hlm 505.

[17] Abdurrahman ibn ‘Ali ibn Muhammad al-Jauzi. Al-Dhuafa wal Matrukin li ibn al-Jauzi (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Alamiyyah 1406 H). Cet I, juz 3, hlm 111.

[18] Abu Ja’far Muhammad ibn ‘Amr ibn Musa al-‘Aqili. Dhuafa al-Aqili (Beirut: Maktabah al-‘Alamiyyah 1984). Cet I, juz 4, hlm 230.

[19] Muhammad ibn ‘Abdullah ibn Ahmad ibn Sulaiman. Maulid al-Ulama wa Wuffiyatihim (Riyadh: Dar al-‘Ashimah 1410 H). Cet 1, juz 1, hlm 371.

[20] Ibn Hajar al-Asqalani. Taqrib at-Tahdzib (Suriah: Dar ar-Rasyid 1986). Cet I, juz 1, hlm 493.

[21] Ibid. Juz 2, hlm 660.

[22] Ahmad ibn ‘Ali Abu Bakar al-Khatib al-Baghdadi. Tarikh al-Baghdadi (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Alamiyyah). Juz 2, hlm 296.

[23] al-Mizzi. Tahdzib al-Kamal (Beirut: Muassasah al-Risalah 1980). Cet I, juz 25, hlm 630-634.

[24] Ibid. Juz 23, hlm 62.

[25] Ibid.

[26] Ibid.

[27] Ibid. Juz 30, hlm 462.

[28] al-Asqalani. Taqrib at-Tahdzib (Suriah: Dar al-Rasyid 1986). Cet I, juz 1, hlm 581.

[29] Ibid.

[30] Gawami’ al-Kalim.

[31] al-Mizzi. Tahdzib al-Kamal (Beirut: Muassasah al-Risalah 1980). Cet I, juz 30, hlm 463.

[32] Ibid. Juz 2, hlm 373.

[33] Ibid.

[34] Ibid.

[35] Ibn Hibban. al-Tsiqat (Dar al-Fikr 1975). Cet I, juz 8, hlm 116.

[36] al-Asqalani. Taqrib at-Tahdzib (Suriah: Dar al-Rasyid 1986). Cet I, juz 1, hlm 99.

[37] al-Mizzi. Tahdzib al-Kamal (Beirut: Muassasah al-Risalah 1980). Cet I, juz 2, hlm 375.

[38] al-Asqalani. Taqrib at-Tahdzib (Suriah: Dar al-Rasyid 1986). Cet I, juz 1, hlm 32.

[39] al-Mizzi. Tahdzib al-Kamal (Beirut: Muassasah al-Risalah 1980). Cet I, juz 1, hlm 329.

[40] al-Asqalani. Taqrib at-Tahdzib (Suriah: Dar al-Rasyid 1986). Cet I, juz 1, hlm 32.

[41] al-Mizzi. Tahdzib al-Kamal (Beirut: Muassasah al-Risalah 1980). Cet I, juz 1, hlm 329.

[42] Ibid.

Studi Kitab Hadis al-Jami’ al-Mukhtasar min al-Sunan ‘an Rasulillah (Sunan at-Tirmidzi)

Posted on Updated on

Pendahuluan

Hadis sebagai sumber hukum kedua dalam Islam setelah al-Qur’an menempati posisi yang tak kalah penting. Karena dengan hadis-lah umat Islam dapat memahami intisari al-Qur’an. Sebagaimana firman Allah SWT: “Dan kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) ini, melainkan agar kamu menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS. 16:64).

Ayat di atas dan ayat-ayat lainnya menjelaskan bahwa Rasulullah SAW. bertugas menjelaskan al-Qur’an kepada umatnya atau dengan kata lain kedudukan hadis terhadap al-Qur’an adalah sebagai penjelasnya.[1]

Sebagai sumber rujukan kedua umat Islam, tentunya hadis berbeda dengan al-Qur’an yang bersumber dari Allah SWT. Tidak sebagaimana rujukan pertama yang eksistensinya disepakati oleh seluruh umat Islam, sebagian orang masih memperselisihkannya. Lantaran sanad dan matannya tidak semuanya sahih. Keraguan pun terus membayangi benak umat Islam ketika membaca dan hendak mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.[2]

Oleh sebab itu dibutuhkan sebuah disiplin ilmu yang terfokuskan pada pembahasan mengenai seluk beluk hadis. Atas dasar kebutuhan akan hal tersebut, maka muncullah para ulama’ dan cendekiawan yang secara khusus mendalami dan membahas tema terkait Hadis atau yang lebih populer dengan istilah Ulumul Hadis. Adapun pembahasan Ulumul Hadis ini berkaitan dengan pembahasan mengenai seluk beluk matan dan sanad.

Pada tahap selanjutnya, pembahasan mengenai seluk beluk hadis ini kemudian berkembang dan memunculkan cabang-cabang baru. Seperti contohnya pembahasan mengenai seluk beluk hadis yang telah terkodifikasikan menjadi suatu kitab oleh para ulama’ pendahulu. Adapun lingkup pembahasannya meliputi seluk beluk kitab-kitab kumpulan hadis-hadis Nabi yang telah jadi seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan lain sebagainya. Di dalam makalah sederhana ini akan sedikit dijelaskan mengenai salah satu kitab hadis fenomenal karya Imam Tirmizi yang sering kita kenal sebagai kitab Sunan al-Tirmizi.

Pembahasan

  1. A.    Biografi

Imam al-Tirmizi memiliki nama lengkap Abu ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa ibn Saurah ibn Musa ibn al-Dahhak al-Sulaimi al-Bugi al-Tirmizi.[3] Meskipun demikian, beliau lebih terkenal dengan nama Abu ‘Isa, bahkan di dalam kitabnya beliau selalu menggunakan nama tersebut. Ada sebagian ulama’ yang tidak setuju dengan nama itu. Hal ini dikarenakan terdapat sebuah hadis dari Abu Syaibah yang menjelaskan bahwasanya seorang pria tidak diperkenankan menggunakan nama Abu ‘Isa dikarenakan nabi ‘Isa sendiri lahir tanpa seorang ayah. Berdasarkan keterangan hadis tersebut, nabi Muhammad bersabda: “Sesungguhnya ‘Isa tidak mempunyai ayah”.

Adapun jalur penisbatan terhadap namanya yaitu: al-Sulami, dinisbatkan kepada kabilahnya, dan Tirmizi dinisbatkan pada negerinya (Tirmiz), sebuah kota yang terletak di sebelah utara sungai jihun di utara Iran. Kata Tirmizi sering juga kita dengar orang membacanya dengan Turmizi, Tarmizi dan lainnya, namun di dalam lisan al-Arab kata itu dibaca Tirmizi (ta kasrah dan min kasrah) sebagai nama kota yang terkenal di daerah Khurasan.[4] Sedangkan al-Bugi adalah nama tempat di mana al-Tirmizi wafat dan dimakamkan.[5]

Beliau lahir pada tahun 209 H dan meninggal dalam keadaan buta pada malam senin tanggal 13 Rajab tahun 279 H di desa Bugh yang berdekatan dengan kota Tirmiz. Ahmad Muhammad Syakir menambahkan julukan kepada al-Tirmizi dengan sebutan al-Darir karena beliau mengalami kebutaan pada akhir hayatnya. Kebanyakan ulama’ sepakat bahwa pada akhir hayatnya beliau mengalami kebutaan, namun kebutaan tersebut menjadi perselisihan apakah timbul setelah melakukan perlawatan ataukah memang bawaan sejak dari lahir. Adapun pendapat yang pertama merupakan pendapat yang disepakati mayoritas ulama’.

Di antara para ulama’ yang menjadi gurunya adalah Qutaibah bin Sa’id, Ishaq bin Rahuyah, Muhammad bin ‘Amru As Sawwaq al Balkhi, Mahmud bin Ghailan, Isma’il bin Musa al Fazari, Ahmad bin Mani’, Abu Mush’ab Az Zuhri, Basyr bin Mu’adz al Aqadi, Al Hasan bin Ahmad bin Abi Syu’aib, Abi ‘Ammar Al Husain bin Harits, Abdullah bin Mu’awiyyah al Jumahi, ‘Abdul Jabbar bin al ‘Ala`, Abu Kuraib, ‘Ali bin Hujr, ‘Ali bin sa’id bin Masruq al Kindi, ‘Amru bin ‘Ali al Fallas, ‘Imran bin Musa al Qazzaz, Muhammad bin aban al Mustamli, Muhammad bin Humaid Ar Razi, Muhammad bin ‘Abdul A’la, Muhammad bin Rafi’, Imam Bukhari, Imam Muslim, Abu Dawud, Muhammad bin Yahya al ‘Adani, Hannad bin as Sari, Yahya bin Aktsum, Yahya bun Hubaib, Muhammad bin ‘Abdul Malik bin Abi Asy Syawarib, Suwaid bin Nashr al Marwazi, Ishaq bin Musa Al Khathami, Harun al Hammal, dan lainnya.[6]

Sedangkan beberapa muridnya adalah sebagai berikut ini[7]: Abu Bakr Ahmad bin Isma’il As Samarqandi, Abu Hamid Abdullah bin Daud Al Marwazi, Ahmad bin ‘Ali bin Hasnuyah al Muqri`, Ahmad bin Yusuf An Nasafi, Ahmad bin Hamduyah an Nasafi, Al Husain bin Yusuf Al Farabri, Hammad bin Syair Al Warraq, Daud bin Nashr bin Suhail Al Bazdawi, Ar Rabi’ bin Hayyan Al Bahili, Abdullah bin Nashr saudara Al Bazdawi, ‘Abd bin Muhammad bin Mahmud An Safi, ‘Ali bin ‘Umar bin Kultsum as Samarqandi, Al Fadhl bin ‘Ammar Ash Sharram, Abu al ‘Abbas Muhammad bin Ahmad bin Mahbub, Abu Ja’far Muhammad bin Ahmad An Nasafi, Abu Ja’far Muhammad bin sufyan bin An Nadlr An Nasafi al Amin, Muhammad bin Muhammad bin Yahya Al Harawi al Qirab, Muhammad bin Mahmud bin ‘Ambar An Nasafi, Muhammad bin Makki bin Nuh An Nasafai, Musbih bin Abi Musa Al Kajiri, Makhul bin al Fadhl An Nasafi, Makki bin Nuh, Nashr bin Muhammad bin Sabrah, Al Haitsam bin Kulaib, dan lain-lain.

Di dalam kalangan para kritikus hadis, integritas dan kapasitas intelektualitas beliau tidak diragukan lagi. Hal tersebut dapat kita lihat dari para komentar para ulama’ berkaitan dengan hal itu, sebagaimana berikut ini:

  1. Di dalam kitab al-Siqat, Ibnu Hibban menjelaskan bahwa imam Tirmizi merupakan seorang penghimpun dan penyampai hadis sekaligus pengarang kitab.
  2. Al-Khalili berkata, al-Tirmizi adalah seorang siqah muttafaq ‘alaih (diakui oleh imam Bukhari dan imam Muslim).
  3. Al-Idris berpendapat bahwa imam al-Tirmizi adalah seorang ulama’ hadis yang melanjutkan jejak para ulama’ sebelumnya dalam bidang Ulumul Hadis.
  4. Al-Hakim Abu Ahmad berkata, aku mendengar ‘Imran bin ‘Alan berkata, “Sepeninggal imam Bukhari tidak ada ulama’ yang menyamai ilmunya, ke-wara’-annya, dan ke-zuhud-annya di Khurasan, kecuali Abu ‘Isa al-Tirmizi.
  5. Ibnu Fadhil menjelaskan bahwa al-Tirmizi adalah pengarang Kitab Jami’ dan tafsirnya, dia juga ulama’ yang paling berpengetahuan.[8]

Dan masih banyak lagi komentar para ulama’ mengenai imam al-Tirmizi. Meskipun demikian, Ibnu Hazm berpendapat bahwa al-Tirmizi adalah seorang periwayat yang tidak terkenal di kalangan ulama’ hadis. Mengenai hal tersebut, al-Hafiz al-Zahabi berpendapat bahwa kritikan Ibnu Hazm itu disebabkan karena ia sendiri tidak mengetahui dan belum sempat membaca karya al-Tirmizi. Dengan asumsi bahwa karya al-Tirmizi pada saat itu belum sampai tersebar di wilayah Andalusia tempat Ibn Hazm berdomisili.

Mengenai sejarah pelawatan imam al-Tirmizi, dikisahkan beliau keluar dari negerinya menuju ke Khurasan, Iraq dan Haramain dalam rangka menuntut ilmu. Ada perbedaan pendapat para pakar sejarah mengenai masuknya imam al-Tirmizi ke daerah Baghdad. Al-Khathib tidak menyebutkan al-Timizi masuk ke Baghdad di dalam tarikh-nya, sedangkan Ibnu Nuqthah dan yang lainnya menyebutkan bahwa beliau masuk ke Baghdad. Setelah pengembaraannya, imam Al-Tirmizi kembali ke negerinya, kemudian beliau masuk Bukhara dan Naisapur, dan beliau tinggal di Bukhara beberapa saat. Adapun negeri-negeri yang pernah beliau masuki adalah Khurasan, Bashrah, Kufah, Wasith, Baghdad, Makkah, Madinah, dan Ar Ray.[9]

  1. B.     Kitab al-Jami’ al-Mukhtasar min al-Sunan ‘an Rasulillah

Imam al-Tirmizi yang hidup pada masa abad ke-III, sebagai ulama telah mengikuti secara aktif dalam pengembangan hadis dan fiqh. Ia telah melakukan peranannya dari segi posisi, persepsi, behavior dan eskpektasi sebagai ulama yang telah dicatat oleh peneliti sebagai sesuatu yang membawa udara baru dalam bidang pengembangan hadis.[10]

Beliau merupakan ulama’ yang produktif, hal ini dapat kita lihat dari berbagai karya yang telah ditulisnya, seperti kitab ‘Illal, kitab Tarikh, kitab al-Sama’il al-Nabawiyah, kitab al-Zuhud, kitab al-Asma’ wa al-Kuna, kitab al-‘Illal al-Kabir, kitab al-Asma’ al-Sahabah, dan kitab al-Asma’ al-Mauqufat.

Dengan kedalaman ilmu dan kepiawaian yang dimilikinya, lahirlah sebuah kitab fenomenal dengan judul lengkap al-Jami’ al-Mukhtasar min al-Sunan ‘an Rasulillah. Sebuah karya yang menjadi salah satu sumber rujukan umat Islam hingga saat ini. Meskipun secara lengkap dinamakan sebagaimana yang telah disebutkan di atas, namun kitab ini lebih populer di kalangan umat Islam dengan nama al-Jami’ al-Sahih, al-Jami’ al-Tirmizi atau Sunan al-Tirmizi.

Di kalangan ulama’, sebagian tidak mempermasalahkan perihal penamaan kitab ini sebagaimana al-Hakim dan al-Khatib al-Baghdadi. Namun sebagian yang lainnya ada yang keberatan. Hal ini berkaitan dengan kata “al-sahih” yang merujuk pada penempelan status sahih terhadap kualitas hadis-hadis yang dimasukkan ke dalam kitab tersebut.

Sebagaimana pendapat Ibn Kasir yang mengatakan bahwasanya pemberian nama itu tidak tepat dan terlalu gegabah, sebab di dalam kitab tersebut tidak hanya memuat hadis sahih saja, akan tetapi juga memuat hadis-hadis hasan, dhaif, dan munkar. Meskipun al-Tirmizi tetap memberikan keterangan kelemahan, ke-mu’allal-an, dan ke-munkar-an terhadap hadis-hadis tersebut.[11]

Dalam meriwayatkan hadis, imam al-Tirmizi menggunakan metode yang berbeda dengan ulama lain[12]. Berikut ini adalah metode-metode yang digunakan beliau:

  1. Mentakhrij hadis yang menjadi amalan para fuqaha’.
  2. Memberi penjelasan tentang kualitas dan keadaan hadis. Ini merupakan salah satu kelebihan beliau, karena beliau benar-benar memahami seluk beluk hadis yang dia tulis. Hal itu berdasarkan hasil diskusinya dengan para ulama’. Dalam kitabnya Sunan al-Tirmizi sendiri pun dijelaskan “Dan apa yang telah disebutkan dalam kitab ini mengenai ‘illal hadis, rawi atupun sejarah adalah hasil dari apa yang aku takhrij dari kitab-kitab tarikh, dan kebanyakan yang demikian itu adalah hasil diskusi saya dengan Muhammad bin Ismail (al-Bukhari)”.

Sedangkan dalam standarisasi periwayatan, menurut al-Hafiz Abu Fadil bin Tahir al-Maqdisi, imam al-Tirmizi menetapkan empat syarat. Yaitu:

  1. Hadis-hadis yang telah disepakati kesahihannya oleh Bukhari dan Muslim.
  2. Hadis-hadis yang sahih menurut standar kesahihan Abu Dawud dan al-Nasa’i, yaitu hadis-hadis yang para ulama’ tidak sepakat untuk meninggalkannya, dengan ketentuan hadis itu bersambung sanadnya dan tidak mursal.
  3. Hadis-hadis yang tidak dipastikan kesahihannya dengan menjelaskan sebab-sebab kelemahannya.
  4. Hadis-hadis yang dijadikan hujjah oleh fuqaha’, baik hadis tersebut sahih atau tidak. Asal tidak sampai pada tingkat dhaif matruk.[13]
  1. a.      Isi dan Sistematika Kitab al-Jami’ al-Sahih

Di dalam diskursus Ulumul Hadis, terutama cabang Studi Kitab Hadis, pada penulisan sebuah kitab hadis terdapat tipologi yang membedakan suatu kitab hadis dengan kitab hadis lainnya. Pembedaan tipologi tersebut kemudian muncul menjadi sebuah istilah dengan definisinya masing-masing seperti tipe Juz, Athraf, Muwaththa’, Mushannaf, Sunan, Musnad, Jami’, Mu’jam, Mustakhraj, Mustadrak, Majami’, dan Zawaid.

Untuk kitab al-Jami’ al-Mukhtasar min al-Sunan ‘an Rasulillah ini masuk pada kategori tipe kitab Jami’. Dan keterangan secara lebih mendetail akan hal itu akan dikemukakan pada pembahasan berikut ini.

Secara bahasa, kata jami’ berarti sesuatu yang mencakup, mengumpulkan, dan menggabungkan. Menurut terminologi ahli hadis, jami’ adalah tipe penyusunan kitab-kitab hadis yang memuat hadis-hadis berbagai macam masalah keagamaan seperti akidah, hukum, perbudakan, tata cara makan dan minum, bepergian dan tinggal di rumah, tafsir, sejarah, perilaku hidup, pekerti baik dan buruk, dan lain sebagainya.[14]

Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwasanya tipologi jami’ ini mencakup seluruh aspek keagamaan dan tidak sekedar pada disiplin ilmu tentang fiqh saja seperti kitab-kitab dengan tipologi muwaththa’, mushannaf, dan sunan.

Paling tidak mencakup delapan bab utama mengenai akidah, hukum perilaku para tokoh agama, adab, tafsir, fitan, tanda-tanda kiamat dan manaqib. Penelusuran hadis melalui kitab-kitab jami’ relatif mudah, oleh karena sistematika isinya yang konkret. Semua hadis yang berkaitan dengan soal-soal tertentu dimasukkan dalam satu tema. Tema tersebut biasanya dinamakan sebagai nama atau judul bab.[15]

Kitab-kitab yang masuk pada kategori tipologi jami’ ini mempunyai karakter tersendiri dan berbeda dengan tipe-tipe lainnya. Secara keseluruhan, kitab ini terdiri dari lima juz, 2376 bab dan 3956 hadis.[16]

Mengenai penyusunan kitab al-Jami’ al-Salih, kitab ini disusun berdasarkan urutan bab fiqih, dari bab bersuci  seterusnya sampai dengan bab akhlak, doa, tafsir, fadha’il dan lain-lain. Dengan kata lain, al-Tirmizi menulis hadis dengan mengklasifikasi sistematikanya dengan model juz, kitab, bab, dan sub bab.[17] Secara mendetail sistematika penyusunannya adalah sebagai berikut ini[18]:

Pertama dimulai dengan bab Thaharah, bab Shalah, bab al-Jum’ah, bab Zakat, bab Puasa, bab Haji, bab Janazah, bab Nikah, bab Radha’, bab Thalaq, bab Jual-beli, bab al-Ahkam, bab al-Diyat, bab al-Hudud, bab al-Shaid, bab al-Dzabaih, bab Makanan, bab al-Ahkam dan al-Wa’id, bab al-Adhahi, bab al-Nudzur wal Iman, bab al-Siir, bab Keutamaan jihad, bab al-Jihad, bab al-Libas, bab Minuman, bab Bir wal al-Sillah, bab al-Thibb, bab al-Faraid, bab al-Wasaya, bab al-Wala’ wal Hibah, bab al-Qadr, bab al-Fitan, bab al-Ru’ya, bab al-Syahadah, bab al-Zuhd, bab Shifat al-qiyamah, bab Shifat al-jannah, bab Sifat jahannam, bab al-Iman, bab al-‘Ilm, bab al-Isti’dzan, bab al-Adab, bab al-Amtsal, bab Fadhail al-Quran, bab al-Qiraat, bab Tafsir al-Qur’an, bab al-Da’awat, bab al-Manaqib, dan bab al-‘illal.

  1. b.      Kualitas Hadis di dalam Kitab

Mayoritas ulama’ sebelum imam al-Tirmizi berpendapat bahwa hadis jika ditinjau dari segi kualitasnya hanya terbagi menjadi dua yakni shahih dan dha’if. Tetapi, pada masa imam al-Tirmizi dan generasi sesudahnya, pengelompokan hadis berdasarkan kualitas pun menyandang satu istilah lagi yang kemudian sering kita kenal dengan hadis hasan. Meskipun sebelumnya telah ada yang membicarakan hal tersebut, namun belum dibakukan.

Beliaulah ulama’ yang pertama kali mencetuskan istilah tersebut dalam sejarah pengkategorisasian hadis dari segi kualitas. Senada dengan imam al-Nawawi, imam Taqiyuddin ibn Taimiyah juga menjelaskan: “Abu ‘Isa al-Tirmizi dikenal sebagai orang pertama yang membagi hadis menjadi shahih, hasan, dan dha’if yang tidak diketahui oleh seorang pun tentang pembagian itu sebelumnya. Abu ‘Isa telah menjelaskan yang dimaksud dengan hadis hasan itu ialah hadis yang banyak jalannya, perawinya tidak dicurigai berdusta, dan tidak syadz”.[19]

Jika dilihat dari segi kualitas dan kuantitasnya, 3956 hadis yang terkumpul dalam kitab al-Jami al-Sahih terbagi sebagaimana berikut ini: Shahih: 138 buah, Hasan Shahih: 1454 buah, Shahih Gharib: 8 buah, Hasan Sahih Gharib: 254 buah, Hasan: 705 buah, Hasan Gharib 571 buah, Gharib: 412 buah, Dha’if: 344 buah, tidak dinilai dengan jelas 344 buah.[20]

Berkaitan dengan penggunaan istilah, imam al-Tirmizi menggunakan istilah khusus yang selama ini menjadi perbincangan para ulama hadis yakni term-term seperti hasan shahih, hasan gharib, dan hasan shahih gharib. Adanya istilah ini menimbulkan multi-tafsir di kalangan ulama’ karena beliau tidak memberikan penjelasan mengenai hal itu dengan tegas.

  1. c.       Situasi dan Kondisi Saat Penulisan Kitab

Imam al-Tirmizi merupakan pakar hadis yang lahir pada tahun 209 H, atau dapat kita sebut juga pada abad ketiga Hijriyah. Pada masa itu merupakan masa dimana daulah ‘Abbasiyah memimpin. Saat itu, kondisi keilmuan umat Islam sedang mengalami perkembangan pesat baik dalam bidang hadis, ilmu kalam, tasawuf, fiqh, dan filsafat. Terutama ketika al-Makmun dan Harun al-Rasyid menjabat sebagai khalifah.

Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, ketika Harun al-Rasyid menjabat sebagai khalifah bani ‘Abbasiyah yang kelima pada tahun 786 M dia belajar di Persia di bawah asuhan Yahya Ibn Khalid Ibn Barmak. Dia banyak dipengaruhi oleh kegemaran keluarga Barmak pada ilmu pengetahuan dan filsafat. Di bawah pemerintahan Harun al-Rasyid penterjemahan buku-buku ilmu pengetahuan Yunani ke dalam bahasa Arab pun dimulai.

Umat Islam dikirim ke kerajaan Romawi di Eropa untuk membeli manuscripts. Pada awalnya yang menjadi fokus kajian adalah buku-buku mengenai kedokteran tetapi kemudian juga mengenai ilmu pengetahuan-ilmu pengetahuan lain dan filsafat. Mulanya, buku-buku itu diterjemahkan ke dalam bahasa Siriac, yaitu bahasa ilmu pengetahuan di Mesopotamia pada saat itu, kemudian baru ke dalam bahasa Arab.

Dengan adanya kegiatan ini, sebagian besar dari karangan-karangan Aristoteles, sebagian tertentu dari karangan-karangan Plato, neo-Platonisme, karangan tentang ilmu kedokteran, serta ilmu pengetahuan Yunani yang lainnya dapat dibaca oleh alim-ulama’ Islam.[21]

Dalam perkembangan ilmu hadis sendiri, pada masa tersebut merupakan masa dimana penyeleksian hadis dilakukan oleh para ulama’ secara ketat. Hal ini sebagai bentuk tindak lanjut dari usaha para ulama sebelumnya. Pada masa ini dapat juga dikatakan masa ‘ashr al-tajrid wa al-tashhih wa al-tanqih (masa penerimaan, pentashhihan, dan penyempurnaan).[22]

Selain tindak lanjut terhadap permasalahan Ulumul Hadis pada generasi sebelumnya yang belum terselesaikan, munculnya masa penerimaan, pentashhihan, dan penyempurnaan ini juga merupakan reaksi atas munculnya hadis-hadis yang dibuat dan disebarkan oleh oknum-oknum tertentu untuk melegitimasi kepentingan individu maupun kelompok.

Dilihat dari sisi politik, pada abad ketiga Hijriyah ini daulah bani ‘Abbasiyah sedang mengalami kemunduran dengan banyaknya wilayah yang membebaskan diri dan membentuk dinasti-dinasti kecil, sehingga kekuatan umat Islam menjadi lemah. Akan tetapi, walaupun dari segi politik lemah, gerakan keilmuan tetap berjalan sebagaimana masa-masa sebelumnya.[23] Banyak kitab-kitab hadis yang terlahir pada masa ini seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan lain-lain.

Pada  masa ini para ulama bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan hadis yang diterimanya. Tidak seorangpun ulama’ yang membukukan hadis dengan menukil dari kitab lain. Mereka membukukannya berdasarkan hadis-hadis yang diterima dari para periwayat. Selain menyusun kitab-kitab hadis, pada masa ini mereka juga menyusun kitab-kitab metodologi pen-tashhih-an hadis.[24]

  1. d.      Pendapat Para Ulama

Jumhur ulama’ mengakui Sunan al-Tirmizi ini tinggi nilainya dan besar sekali manfaatnya, serta isinya jarang diulang-ulang. Meskipun menurut Ibnu Hazm orang tidak boleh mengamalkan apa yang telah dinyatakan shahih atau hasan oleh al-Tirmizi, karena al-Tirmizi adalah orang yang tidak dikenal dan penilaiannya tidak dapat diterima.[25]

Imam an-Nawawi dalam Taqrib yang disyarah oleh Syururi berkata bahwa kitab karya at-Tirmizi ini adalah sumber pengetahuan hadis hasan, dan beliaulah yang telah mempopulerkannya.[26]

Seorang orientalis Jerman, Brockelman menyatakan ada sekitar 40 hadis yang tidak diketahui secara pasti apakah hadis-hadis itu termasuk hadis Abu ‘Isa al-Tirmizi. Sekumpulan hadis itu dipertanyakan apakah kitab yang berjudul al-Zuhud atau al-Asma’ wal Kuna. Ada dugaan keras bahwa kumpulan hadis itu adalah al-Fiqh atau al-Tarikh, tetapi masih diragukan.[27]

Dan masih banyak lagi komentar para ulama’ mengenai karya imam al-Tirmizi tersebut. Adapun pada makalah ini hanya disebutkan sebagian saja dan dianggap telah mewakili komentar-komentar yang lainnya.

Kesimpulan

Perkembangan ilmu tentang hadis dari satu masa ke masa merupakan bagian dari dinamika perkembangan keilmuan Islam yang sampai pada masa kita saat ini. Sejarah mencatat, banyak cendekiawan-cendekiawan dan ulama’ muslim mencetuskan pemikiran-pemikirannya demi perkembangan umat Islam sendiri sesuai dengan konteks waktu dan tempat.

  Di antara sekian banyaknya ulama’ tersebut dapat kita ambil salah satu contohnya imam al-Tirmizi dengan karya fenomenalnya al-Jami’ al-Mukhtasar min al-Sunan ‘an Rasulillah atau yang lebih sering kita kenal dengan nama kitab Sunan al-Tirmizi.

Beliau merupakan seorang ulama’ yang kita kenal selain ke-wara’-annya dan ke-zuhud-annya juga merupakan sosok dengan intelektualitas dan integritas yang tidak diragukan lagi. Hal ini dibuktikan dengan berbagai macam hasil karyanya yang sampai pada tangan kita saat ini. Dalam pengkategorisasian kualitas hadis, Imam al-Tirmizi lah yang mencetuskan istilah hadis hasan sebagaimana kita ketahui. Beliau juga dikatakan sebagai pakar hadis yang konsisten dengan keilmuannya, meskipun demikian sebagai seorang manusia dia juga tidaklah terlepas dari kritik dan komentar, sebagaimana komentar Ibnu Hazm, maupun para orientalis yang telah dipaparkan pada pembahasan sebelumnya. 

Menurut kesubyektifitasan pemakalah, merupakan kewajaran ketika seseorang membawa hal baru dan kemudian mendapatkan komentar ataupun kritikan. Karena justru hal tersebutlah yang akan membuat ilmu pengetahuan menjadi hidup dan berkembang. Mengutip perkataan Tan Malaka: “Demikianlah juga pengetahuan baru menimbulkan persoalan baru, tetapi persoalan baru itu akan terus menerus pula bisa diselesaikan”.[28] Satu hal lagi yang menurut pemakalah perlu digaris bawahi adalah, terlepas dari komentar dan kritikan terhadap karya imam al-Tirmizi, kitab al-Jami’ al-Mukhtasar min al-Sunan ‘an Rasulillah merupakan sumbangsih dalam khazanah literatur Islam yang patut diperhitungkan, alangkah baik jika munculnya disiplin-disiplin ilmu dalam masa kontemporer ini digunakan sebagai pisau bedah untuk mengkaji ulang dan terus menerus terhadap berbagai literatur Islam sehingga Islam dapat dibuktikan sebagai shalih likulli zaman wal makan.

Daftar Pustaka

CD-Room Maktabah Syamilah

Idri. 2010. Studi Hadis. Jakarta: Kencana. Cetakan pertama.

‘Itr, Nuruddin. 1995. ‘Ulum Al-Hadits 1. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Cetakan

pertama.

Malaka, Tan. 1951. MADILOG: Materalisme Dialektika dan Logika. Jakarta: Widjaya.

Cetakan pertama.

Nasution, Harun. 1992. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: PT Bulan Bintang.

Cetakan ke-8.

Suryadilaga, Alfatih, dkk. 2010. Ulumul Hadis. Yogyakarta: Teras. Cetakan pertama.

Tim Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga. 2003. Studi Kitab Hadis.

Yogyakarta: Teras. Cetakan pertama.

http://www.academia.edu/3791474/Sunan_Abi_Daud_Tirmizi

http://www.lidwa.com/2011/biografi-imam-tirmidzi/

http://www.referensimakalah.com/2012/03/biografi-imam-al-imam-al-tirmizi_2936.html


[1] Dr Nuruddin ‘Itr. ‘Ulum Al-Hadits I. Hlm 2.

[2] Dr. M. Alfatih Suryadilaga, dkk. Ulumul Hadis. Hlm pertama bagian pengantar.

[3] Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Studi Kitab Hadis. Hlm 104.

[4] http://www.referensimakalah.com/2012/03/biografi-imam-al-imam-al-tirmizi_2936.html diakses pada tanggal 01 November 2013 pukul 01:23 WIB.

[5] Dosen Tafsir Hadis. Hlm 105.

[6] http://www.lidwa.com/2011/biografi-imam-tirmidzi/ diakses pada tanggal 01 November 2013 pukul 01:23 WIB.

[7] Ibid.

[8] Dosen Tafsir Hadis. Hlm 107.

[9] http://www.lidwa.com/2011/biografi-imam-tirmidzi/ diakses pada tanggal 01 November 2013 pukul 01:23 WIB.

[10] http://www.academia.edu/3791474/Sunan_Abi_Daud_Tirmizi . Hlm 6. Diakses pada tanggal 01 November 2013 pukul 01                                                                                                                         :23 WIB.

[11] Dosen Tafsir Hadis. Hlm 112.

[12] Ibid. Hlm 112.

[13] Ibid. Hlm 114.

[14] Dr. Idri, M.Ag. Studi Hadis. Hlm 120.

[15] Dr. M. Alfatih Suryadilaga, dkk. Ulumul Hadis. Hlm 293.

[16] Dosen Tafsir Hadis. Hlm 115.

[17] Ibid. Hlm 115.

[18] Lihat CD-Room Maktabah Syamilah mengenai kitab Sunan al-Tirmizi. Secara umum sistematika pembagiannya seperti yang telah disebutkan, untuk keterangan lebih mendetailnya dapat ditelusuri lagi per bab.

[19] Dosen Tafsir Hadis. Hlm 119.

[20]Ibid. Hlm 120.

[21] Prof.Dr. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Hlm 11-13.

[22] Idri. Hlm 49.

[23] Ibid. Hlm 49.

[24] Ibid. Hlm 49.

[25] http://www.academia.edu/3791474/Sunan_Abi_Daud_Tirmizi . Hlm 10. Diakses pada tanggal 01 November 2013 pukul 01:23 WIB.

[26] Ibid. Hlm 11.

[27] Dosen Tafsir Hadis. Hlm 123.

[28] Tan Malaka. Materalisme Dialektika dan Logika.

Penafsiran dan Kontekstualisasi Surat Ar-Rum Ayat 22

Posted on Updated on

وَمِنْ ءَايَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَاخْتِلاَفُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لأَيَاتْ لِّلْعَالَمِينَ

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui”.

Tafsir Mufradat[1]

(وَمِنْ ءَايَاتِهِ): Yakni hujjah-hujjah dan petunjuk yang menunjukkan kekuasaan-Nya dalam membangkitkan dan membalas amal perbuatan manusia.

(وَاخْتِلاَفُ أَلْسِنَتِكُمْ): Yakni bahasa yang berbeda-beda, seperti diketahui terdapat bahasa Arab dan non Arab. Adapun bahasa selain Arab sangat banyak dan berbeda antara satu dengan yang lain.

(وَأَلْوَانِكُمْ): Warna kulit kalian yaitu putih, kuning, merah, dan hitam. Semuanya berasal dari keturunan satu orang laki-laki dan perempuan yakni dari Adam dan Hawa.

(لِّلْعَالَمِينَ): Jika huruf laamnya di beri harokat fathah maka memiliki arti bagi orang-orang yang berakal, sedangkan jika dibaca kasrah memiliki arti bagi orang-orang yang berilmu.

Asbabun Nuzul

Di dalam ayat ini tidak ditemukan asbabun nuzul secara khusus, namun untuk asbabun nuzul surat Ar-Rum ayat 1-5, Imam at-Tirmizi mengemukakan sebuah hadis melalui Abu Said yang mengkisahkan saat perang Badar terjadi, orang-orang Romawi mengalami kemenangan atas orang-orang Persia. Peristiwa itu membuat takjub orang-orang Mukmin, maka turun firman Allah S.W.T dalam surat Ar-Rum ayat 1-5.[2]

Sebagaimana hadis yang disebutkan oleh Imam at-Tirmizi, Ibnu Jarir juga mengutarakan hadis yang serupa melalui Ibnu Mas’ud r.a. Ibnu Abu Hatim mengetengahkan sebuah hadis melalui Ibnu Syihab yang menceritakan bahwasanya telah sampai suatu berita kepada kami, bahwa kaum musyrikin mendebat kaum Muslimin yang tinggal di Mekah sebelum Rasulullah S.A.W. berangkat ke medan perang Badar.[3]

Orang-orang musyrik berkata kepada kaum Muslimin Mekah:[4]Orang-orang Romawi itu mengakui bahwa mereka adalah ahli kitab, tetapi ternyata dapat dikalahkan oleh orang-orang Persia yang Majusi. Dan kalian menduga bahwa kalian akan dapat mengalahkan kami dengan Kitab (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada Nabi kalian. Mengapa orang-orang Persia yang beragama Majusi itu dapat mengalahkan orang-orang Romawi yang ahli Kitab? Maka kami pun pasti akan dapat mengalahkan kalian sebagaimana orang-orang Persia dapat mengalahkan orang-orang Romawi.”

Tafsir Ayat

Ada beberapa versi penafsiran mengenai ayat di atas oleh beberapa ahli tafsir. Di antaranya adalah: Menurut Ibnu Katsir[5], di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah penciptaan langit dan bumi. Dalam arti penciptaan langit dengan ketinggiannya, keluasan hamparan atapnya, kecemerlangan bintang-bintangnya yang tetap dan yang beredar. Serta penciptaan bumi dengan kerendahan dan ketebalannya serta beberapa kandungannya seperti bentuk gunung, oase, laut, padang pasir, hewan, dan pepohonan.

Tanda-tanda kekuasaan Allah yang berikutnya adalah perbedaan bahasa-bahasa yang ada. Ada yang berbahasa Arab, Tartar, Romawi, Perancis, Barbar, Habsyi, Hindi, ‘Ajam, Armenia, Kurdi, dan masih banyak lagi.[6] Keseluruhan dari keragaman bahasa tersebut tidak ada yang mengajarkannya kecuali Allah.

Tanda-tanda selanjutnya adalah keragaman warna kulit manusia. Seluruh penduduk Bumi, sejak diciptakannya Adam sampai hari akhir, semuanya memiliki dua mata, dua alis, satu hidung, dua buah pelipis, satu mulut, dan dua pipi. Meskipun demikian, antara satu dengan yang lainnya tidak memiliki kesamaan. Bahkan dibedakan satu sama lain antara jalannya, sikapnya atau pembicaraannya. Baik nyata ataupun tersembunyi yang hanya dapat terlihat jika melalui perenungan.

Seandainya seluruh manusia memiliki kesamaan dalam ketampanan atau kejelekan, niscaya dibutuhkan orang yang membedakan setiap salah satu di antara mereka dengan yang lainnya.[7] Hampir tidak ada satupun orang kecuali anda berbeda dengannya dan dia berbeda dengan lainnya.[8]

Menurut Imam Al-Qurthubi, hal ini jelas terjadi bukan karena air mani maupun perbuatan dari kedua orang tua. Pasti terdapat pelaku atas semua ini, dan dapat dipastikan bahwa pelakunya adalah Allah S.W.T. Hal ini merupakan dalil yang menunjukkan adanya Tuhan Yang Maha Mengatur dan Maha Menciptakan.[9]

Sedangkan dalam Tafsir fi Zhilalil-Qur’an jilid 9, Sayyid Quthb menerangkan bahwa tanda-tanda kekuasaan Allah S.W.T dalam penciptaan langit dan bumi kerap disebutkan di dalam Al-Qur’an, tetapi kita sering sekali melewatinya dengan cepat-cepat tanpa berhenti lama dihadapannya.[10] Padahal hal tersebut sangat layak untuk direnungkan dan dipikirkan.

Menurut beliau, penciptaan langit dan bumi memiliki makna sebuah ciptaan yang besar, agung, dan amat cermat. Jumlah planet, meteor, bintang, matahari, awan, dan tata surya adalah jumlah yang tidak terhingga. Sehingga jika dibandingkan, bumi ini tak lebih dari sebuah atom tak berbobot yang tidak memiliki pengaruh apapun terhadap semesta. Di samping keragaman dan jumlah planet yang tak terhingga ini terdapat hal mengagumkan yang lainnya. Yakni adanya garis orbit, perputaran, dan gerakan masing-masing planet yang menimbulkan keserasian dan keselarasan antara satu dengan yang lainnya.

Adapun penciptaan manusia dengan berbagai macam bahasa dan warna kulit, menurut Sayyid Quthb memiliki korelasi dengan penciptaan langit dan bumi yang mengagumkan ini. Adanya perbedaan hawa udara di permukaan bumi dan perbedaan lingkungan yang terjadi karena tabiat kedudukan bumi secara astronomis, mempunyai implikasi terhadap perbedaan bahasa dan warna kulit.[11]

Dalam pembahasan mengenai tanda-tanda kekuasaan Allah S.W.T, sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Sayyid Quthb juga mengkritik paradigma ilmuwan kontemporer. Menurut beliau, kebanyakan ilmuwan saat ini memang menyadari adanya perbedaan-perbedaan warna dan bahasa. Mereka mempelajari fenomena ini secara obyektif saja dan melewatkan kehendak serta kekuasaan Allah S.W.T. dalam hal tersebut.[12] Mereka tidak melakukan perenungan akan hal itu untuk kemudian dikembalikan kepada Sang Khaliq yang mengatur segala hal baik lahir ataupun batin.

Dari ketiga penafsiran yang telah disampaikan di atas, dapat kita ambil pengetahuan secara umum bahwasanya keteraturan, keselarasan, dan keserasian dalam penciptaan langit dan bumi merupakan tanda-tanda Keagungan Allah S.W.T. Munculnya ilmu pengetahuan merupakan pembuktian adanya Sang Pencipta dan bukan sebaliknya.

Adanya keragaman warna kulit dan dialektika merupakan realitas sosial yang tidak bisa dihindarkan. Bahkan Nabi S.A.W juga bersabda[13]: “Al-Qur’an diturunkan dalam tujuh bahasa” (HR Muslim, At-Tirmidzi, dan Ahmad dengan riwayat yang berbeda-beda tetapi dengan makna yang sama).

Berdasarkan hadis di atas kita dapat menyimpulkan bahwasanya Al-Qur’an sendiri demikian menghargai bahasa dan keragamannya bahkan mengakui penggunaan bahasa lisan yang beragam.[14]

Kontekstualisasi Ayat

Fenomena yel-yel berbau rasis dan anarkis akhir-akhir ini banyak terdengar pada laga pertandingan sepakbola di Indonesia. Kata-kata sindiran, ejekan, bahkan yang dengan terang-terangan sering kali dilontarkan antar kubu suporter dalam pertandingan.

Di Indonesia, banyak kita temukan kasus huru-hara dan kekerasan dalam sepak bola. Seperti contohnya menghancurkan fasilitas umum (stadion), pembakaran kendaraan, dan penjarahan. Fenomena tersebut tentu berdampak luas. Tidak hanya di dunia persepakbolaan namun juga berdampak di bidang ekonomi, sosial dan budaya yang pada tahap selanjutnya berpotensi mengganggu kestabilitasan nasional.

Seperti kasus yang terjadi di Bandung misalnya, dikutip dari media massa Tempo tanggal 19 Mei 2010.[15] Diberitakan bahwa Rektorat Institut Teknologi Bandung akan menskors mahasiswa Program Studi Kimia Semester VII berinisial DIM terkait status akun Facebooknya yang menuliskan kata-kata berbau rasis kepada warga Papua. “Kita masih merumuskan sanksi yang tepat bagi dia,”. Ujar rektor ITB Akhmaloka di kecamatan Cihurip, Garut, Jawa Barat, rabu (19/05/2010).

Menurut Akhmaloka, pihaknya tidak akan memberikan sanksi droup out. Alasannya, sanksi yang diberikan kepada mahasiswanya itu harus mendidik, bukan sebagai arena balas dendam.

Berdasarkan hasil sidang Komisi Disiplin, DIM terbukti telah melakukan pelanggaran. Aturan kampus yang telah dilanggarnya itu adalah aturan kemahasiswaan. Dalam aturan itu mahasiswa dilarang untuk melakukan provokasi yang dapat menimbulkan kebencian antar-suku atau agama. “Aspek itu sudah terpenuhi,” ujar Akhmaloka.

Kasus itu bermula dari status akun Facebook DIM yang dibuatnya pada 3 Mei lalu sehari selepas pertandingan Liga Indonesia antara Persib Bandung melawan Persipura Jayapura. Pada status Facebook-nya, dia menuliskan kata-kata berbau rasis yang ditujukan kepada warga Papua.

Status itu menyulut reaksi. Sedikitnya terdapat 500 komentar yang merespon status Facebook DIM itu. Reaksi itu menyebar hingga Papua. Begitu juga dengan Ikatan Mahasiswa Papua (IMAPA) Bandung, menggelar aksi ke gedung ITB pada Selasa (18/5/2010) kemarin.

Sebagai makhluk sosial, tentunya manusia tidaklah dapat terlepas dari unsur lingkungan dan kelompoknya. Unsur tersebutlah yang membentuk pola pikir dan perilakunya di dalam kehidupan sehari-hari. Adapun cabang ilmu yang membahas mengenai gejala-gejala yang terjadi di dalam interaksi manusia dengan yang lainnya adalah ilmu sosiologi.

Meminjam sosiologi pengetahuan Peter L Berger dan Thomas Luckmann, terdapat tiga proses yang melatarbelakangi di balik dialektika manusia dengan masyarakatnya dan berimplikasi pada tindakan dan perilaku. Yakni proses eksternalisasi, obyektifikasi, dan internalisasi.[16]

Menurut Peter L Berger dan Thomas Luckmann juga, setidaknya ada beberapa kreasi manusia yang memiliki pengaruh yang sangat besar dalam pikiran kita. Adapun hal tersebut adalah: bahasa, agama, pendidikan, hukum, seni.[17]

Sebagai umat Islam yang berpedoman pada nilai-nilai Al-Qur’an, akan sangat ideal jika pemahaman ayat Al-Qur’an  sebagaimana yang telah dijelaskan di atas dikontekstualisasikan pada kasus tersebut. Dengan asumsi, adanya kontekstualisasi tersebut kemudian menjadi latarbelakang atas tindakan kita. Upaya ini diharapkan agar manusia dapat menjaga kestabilitasan dan keselarasan dalam berperilaku antara satu individu dengan individu yang lain.

Daftar Pustaka

Al-Jazairi, Syaikh Abu Bakar Jabir. 2008. Tafsir Al-Qur’an Al-Aisar (Jilid 5). Jakarta

Timur: Darus Sunnah Press. Cetakan pertama.

Imam Al-Qurthubi, Syaikh. 2009. Tafsir Al-Qurthubi (Jilid 14). Jakarta: Pustaka Azzam.

Cetakan pertama.

Katsir, Ibnu. 2010. Tafsir Ibnu Katsir (Jilid 7). Jakarta: Pustaka Imam As-Syafi’i. cetakan

kedua.

Quthb, Sayyid. 2008. Tafsir fi Zhilalil-Quran (Jilid 9). Depok: Gema Insani. Cetakan

ketiga.

Shihab, Quraish. M. 2004. WAWASAN AL-QURAN: TAFSIR MAUDHU’I ATAS PELBAGAI PERSOALAN UMAT. Bandung: PT Mizan Pustaka. Cetakan kelima

belas.

http://users6.nofeehost.com/alquranonline/Alquran_AsbabunNuzul.asp?SuratKe=30

http://www.tempo.co/read/news/2010/05/19/178249035/Kasus-Rasis-di-Facebook

Mahasiswa-ITB-Diskors


[1]Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-Aisar (Jilid 5) karya Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi. Hlm 653.

[3] Ibid.

[4] Ibid.

[5] Ibnu Katsir. Tafsir Ibnu Katsir (Jilid 7). Hlm 168.

[6] Ibid. Hlm 169.

[7] Ibid.

[8] Syaikh Imam Al-Qurthubi. Tafsir Al-Qurthubi (Jilid 14). Hlm 42.

[9] Ibid.

[10] Sayyid Quthb. Tafsir fi Zhilalil-Qur’an (Jilid 9). Hlm 139.

[11] Ibid.

[12] Ibid.

[13] M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Qur’an. Hlm 340.

[14] Ibid.

[16]Saifuddin Zuhri Qudsy.  MEMINJAM SOSIOLOGI PENGETAHUAN PETER L. BERGER UNTUK STUDI HADIS. Materi perkuliahan Hadis Sosial Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

[17]Ibid.

Istifham dalam Al-Qur’an

Posted on Updated on

Pendahuluan

Al-Qur’an  merupakan pedoman hidup bagi manusia yang menghendaki kebahagiaan, baik di dunia lebih-lebih di akhirat. Seluruh ajaran Islam pada prinsipnya telah tertuang dalam kitab suci ini. Isinya sangat universal, sesuai untuk segala zaman dan makan.[1]

Sebagai kitab suci yang diagungkan oleh umat Islam, tentulah dalam memahami Al-Qur’an tidak semudah memahami kitab-kitab yang lain. Munculnya ilmu tentang Al-Qur’an (baca: Ulumul Qur’an) sebagai sarana untuk memahami Al-Qur’an merupakan bukti bahwa kajian tentang Al-Qur’an bukanlah hal sepele yang dapat dipahami dengan metode yang asal.

Meskipun istilah Ulumul Qur’an baru muncul pada abad kelima Hijriyah, namun benih-benih itu telah muncul sejak masa Nabi. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan gairah para sahabat untuk mengkaji Al-Qur’an dengan bersungguh-sungguh.

Ulumul Qur’an sebagai metode untuk memahami Al-Qur’an pada perkembangan selanjutnya ternyata menjadi disiplin ilmu yang sangat penting diantara ilmu-ilmu lain yang digunakan untuk memahami Al-Qur’an. Kemudian muncullah istilah-istilah baru di dalam pembahasannya.

Sebagian dari istilah-istilah tersebut muncul pada aspek kebahasaan dan merupakan salah satu dimensi Al-Qur’an yang menjadi pokok kajian para ulama metodologi Al-Qur’an. Karena akan sangat mustahil bagi seorang pembaca untuk memahami makna dan maksud suatu ayat tanpa mengerti suatu kaidah kebahasaan. Karena di sisi lain Al-Qur’an juga merupakan kitab yang memiliki nilai sastra tinggi.

Selanjutnya, pada makalah sederhana ini akan dibahas aspek kebahasaan Al-Qur’an mengenai Istifham. Pembahasan ini meliputi pengertian, Adawatul Istifham, dan makna dari penggunaan kata Istifham.

Pembahasan

 

A.    Definisi Istifham

Jika ditinjau dari segi bahasa, Istifham memiliki arti pertanyaan, meminta keterangan, meminta penjelasan.[2] Kata ini merupakan bentuk masdhar dari kata istafhama. Sedangkan ketika dilihat dari bentuk tsulatsi-nya maka kata ini berakar pada kata fahima yang berarti paham, mengerti, dan jelas. Selanjutnya kata fahima tersebut mendapatkan tambahan alif, sin, dan ta’ dan artinya pun bergeser karena adanya faidah thalab (menuntut).

Kemudian, jika ditinjau dari segi istilah, maka Al-Zarkasi dalam bukunya Al-Burhan fi Ulumil Qur’an mendefinisikannya sebagai upaya untuk mencari sebuah pemahaman dari suatu hal yang tidak diketahui.[3] Pada kitab Al-Mu’jam Al-Mufashshal Istifham merupakan pencarian pemahaman tentang hakikat, nama, jumlah serta sifat dari suatu hal.[4]

Istifham dengan berbagai maknanya, memiliki satu maksud pokok yakni mencari pemahaman tentang suatu hal, seperti yang disampaikan oleh pengarang kitab Al-Itqan fi Ulumil Qur’an.[5]

B.     Macam-Macam Kata Istifham

Kata Tanya (Istifham) merupakan bagian dari bahasa percakapan yang digunakan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari ketika berkomunikasi dengan yang lainnya. Tujuan Istifham itu sendiri yaitu untuk mencari tahu apa yang belum diketahui atau untuk mencari kejelasan sesuatu yang belum jelas maknanya. Kata Istifham tersebut beragam bentuknya, seperti apa, siapa, bagaimana, kapan, dan seterusnya.

Adapun di dalam Al-Qur’an, kata tanya atau Istifham terbagi menjadi dua yakni, yang pertama berupa huruf Istifham hamzah dan hal yang memiliki arti apakah. Sedangkan yang kedua adalah Istifham yang berbentuk isim seperti ma (apa), man (siapa), kaifa (bagaimana), mata (kapan), ayyana (bilamana), anna (dari mana), kam (berapa), aina (di mana), ayyu (siapa, apa).[6]

Huruf hamzah digunakan untuk menanyakan apa ataupun siapa dan pertanyaan tersebut memerlukan jawaban ya atau tidak. Seperti contoh ayat berikut ini:

وَإِذْ قَالَ اللهُ يَاعِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ ءَأَنتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي وَأُمِّىَ إِلاَهَيْنِ مِن دُونِ اللهِ قَالَ سُبْحَانَكَ مَايَكُونُ لِي أَنْ أَقُولَ مَالَيْسَ لِي بِحَقٍّ

Artinya: “Hai Isa putra Maryam, engkaukah yang mengatakan kepada orang-orang: “Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah?” Isa menjawab: “Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya).” (QS. 5: 116).

Lafal hal digunakan untuk menanyakan konfirmasi dan membutuhkan jawaban ya atau tidak. Seperti ayat berikut:

هَلْ أَتَى عَلَى الإِنسَانِ حِيٌن مِّنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُن شَيْئًا مَّذْكُورًا

Artinya: “Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?” (QS. 76: 1).

Kata ma digunakan untuk menanyakan sesuatu yang tidak berakal. Contohnya:

قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّن لَّنَا مَالَوْنُهَا

Artinya: Mereka berkata: “Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami apa warnanya?”. (QS. 2: 69).

Kata man, untuk menanyakan hal yang berakal. Misalnya:

مَّن ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًاكَثِيرَةً وَاللهُ يَقْبِضُ وَيَبْصُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

Artinya: “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak? Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. 2: 245).

Kata mata, digunakan untuk menanyakan waktu baik yang lampau atau akan datang. Misalkan:

أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُم مَّثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِن قَبْلِكُم مَّسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللهِ أَلآَ إِنَّ نَصْرَ اللهِ قَرِيبُ

Artinya: “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS. 2: 214).

Lafal ayyana digunakan untuk menanyakan sesuatu yang akan datang, seperti contohnya pada ayat berikut:

يَسْئَلُ أَيَّانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ

Artinya: “Ia bertanya: “Bilakah hari kiamat itu?”. (QS. 75: 6).

Kata kaifa, dipergunakan untuk menanyakan keadaan sesuatu. Misalnya:

وَكَيْفَ تَكْفُرُونَ وَأَنتُمْ تُتْلَى عَلَيْكُمْ ءَايَاتُ اللهِ وَفِيكُمْ رَسُولُهُ وَمَن يَعْتَصِم بِاللهِ فَقَدْ هُدِىَ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ

Artinya: “Bagaimanakah kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kamu? Barang siapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. 3: 101).

Lafal anna digunakan untuk menanyakan asal-usul seperti dalam firman Allah:

قَالَ رَبِّ أَنَّى يَكُونُ لِي غُلاَمٌ وَكَانَتْ امْرَأَتِي عَاقِرًا وَقَدْ بَلَغْتُ مِنَ الْكِبَرِ عِتِيًّا

Artinya: “Zakaria berkata: “Ya Tuhanku, bagaimana akan ada anak bagiku, padahal istriku adalah seorang yang mandul dan aku (sendiri) sesungguhnya sudah mencapai umur yang sangat tua?”. (QS. 19: 8).

Kata kam, digunakan untuk menanyakan jumlah atau bilangan. Seperti contoh:

قَالَ كَمْ لَبِثْتَ قَالَ لَبِثْتُ يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ

Artinya: “Allah bertanya: “Berapa lama kamu tinggal di sini?” Ia menjawab: “Saya telah tinggal di sini sehari atau setengah hari”. (QS. 2: 259)

Lafal aina digunakan untuk  menanyakan tempat seperti contoh:

فَأَيْنَ تَذْهَبُونَ

Artinya: Maka kemanakah kamu akan pergi? (QS. 81: 26).

Lafal ayyu, digunakan untuk menanyakan apa atau siapa. Misalnya:

فَأَيُّ الْفَرِيقَيْنِ أَحَقُّ بِاْلأَمْنِ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

Artinya: “Maka manakah di antara dua golongan itu yang lebih berhak mendapat keamanan (dari malapetaka), jika kamu mengetahui?” (QS. 6: 81).

Terkadang, lafal-lafal Istifham itu keluar dari makna aslinya. Maka dari itu terkadang sang penanya (mutakallim) sebenarnya telah mengetahui jawaban atas pertanyaan yang diajukannya. Hal ini dapat diketahui dengan cara menganalisa konteks kalimat pertanyaan tersebut.[7]

Adapun beberapa makna yang keluar dari makna asli Istifham adalah sebagai berikut ini:

Makna perintah, contohnya seperti di dalam firman Allah:

فَهَلْ أَنتُم مُّنتَهُون

Artinya: “Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (QS. 5: 91).

Makna larangan, misalnya:

أَتَخْشَوْنَهُمْ فَاللهُ أَحَقُّ أَن تَخْشَوْهُ

Artinya: “Mengapakah kamu takut kepada mereka padahal Allah-lah yang berhak untuk kamu takuti?” (QS. 9: 13).

Makna menyamakan, misalnya:

سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ ءَأَنذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنذِرْهُمْ لاَ يُؤْمِنُونَ

Artinya: “Sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman.” (QS. 2: 6).

Makna meniadakan, misalnya:

هَلْ جَزَآءُ اْلإِحْسَانِ إِلاَّ اْلإِحْسَانِ

Artinya: “Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” (QS. 55: 60).

Makna mengingkari, contohnya:

أَغَيْرَ اللهِ تَدْعُونَ

Artinya: “apakah kamu menyeru (tuhan) selain Allah?” (QS. 6: 40).

Makna dengan tujuan membuat penasaran, misalkan:

هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى تِجَارَةٍ تُنجِيكُم مِّنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ

Artinya: “sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih?” (QS. 61: 10).

Makna dengan tujuan memberikan pemahaman, contohnya:

وَمَاتِلْكَ بِيَمِينِكَ يَامُوسَى

Artinya: “Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa?” (QS. 20: 17).

Makna dengan tujuan menetapkan atau mengukuhkan, misalnya firman Allah:

أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ

Artinya: “Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?” (QS. 94: 1).

Makna dengan tujuan untuk membuat terkejut, misal:

الْحَاقَّةُ (1) مَاالْحَاقَّةُ (2) وَمَآأَدْرَاكَ مَاالْحَآقَّةُ (3)

Artinya: “(1) Hari kiamat, (2) Apakah hari kiamat itu?, (3) Dan tahukah kamu apakah hari kiamat itu?” (QS. 69: Ayat 1,2, dan 3).

Makna menjauhkan, contoh:

أَنَّى لَهُمُ الذِّكْرَى وَقَدْجَآءَهُمْ رَسُولٌ مُّبِينٌ

Artinya: “Bagaimanakah mereka dapat menerima peringatan, padahal telah datang kepada mereka seorang rasul yang memberi penjelasan?” (QS. 44: 13).

Makna mengagungkan, contohnya:

مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِندَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ

Artinya: “Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya”. (QS 2: 255).

Makna merendahkan, contohnya:

وَإِذَا رَأَوْكَ إِن يَتَّخِذُونَكَ إِلاَّ هُزُوًا أَهَذَا الَّذِي بَعَثَ اللهُ رَسُولاً

Artinya: “Dan apabila mereka melihat kamu (Muhammad), mereka hanyalah menjadikan kamu sebagai ejekan (dengan mengatakan): “Inikah orangnya yang diutus Allah sebagai Rasul?” (QS. 25: 41).

Menunjukkan makna heran, misalnya firman Allah:

مَالِ هَذَا الرِّسُولِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ وَيَمْشِي فِي اْلأَسْوَاقِ

Artinya: “Mengapa rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar?” (QS. 25: 7).

Makna dengan tujuan sindiran, contohnya:

قَالُوا يَاشُعَيْبُ أَصَلَوَاتُكَ تَأْمُرُكَ أَن نَّتْرُكَ مَايَعْبُدُ ءَابَآؤُنَآ أَوْ أَن نَّفْعَلَ فِي أَمْوَالِنَا مَانَشَاؤُا إِنَّكَ لأَنتَ الْحَلِيمُ الرَّشِيدُ

Artinya: “Mereka berkata: “Hai Syuaib, apakah agamamu yang menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu adalah orang yang sangat penyantun lagi berakal.” (QS. 11: 87).

Makna ancaman, seperti dalam firman Allah:

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍ

Artinya: “Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum Ad?” (QS. 89: 6).

Makna menunda, misalkan firman Allah:

وَيَقُولُونَ مَتَى هَذَا الْوَعْدُ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ

Artinya: “Dan mereka berkata: “Bilakah (terjadinya) janji ini (hari berbangkit) jika kamu adalah orang-orang yang benar?” (QS. 36: 48).

Makna dengan tujuan memperingatkan atas perbuatan salah, seperti di dalam firman Allah:

أَتَسْتَبْدِلُونَ الَّذِي هُوَ أَدْنَى بِالَّذِي هُوَ خَيْرٌ

Artinya: “Maukah kamu mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik?” (QS. 2: 61).

Makna dengan tujuan memperingatkan atas perbuatan bathil, seperti di dalam firman Allah:

أَفَأَنتَ تُسْمِعُ الصُّمَّ أَوْ تَهْدِى الْعُمْيَ وَمَن كَانَ فِي ضَلاَلٍ مُّبِينٍ

Artinya: “Maka apakah kamu dapat menjadikan orang yang pekak bisa mendengar atau (dapatkah) kamu memberi petunjuk kepada orang yang buta (hatinya) dan kepada orang yang tetap dalam kesesatan yang nyata?” (QS. 43: 40).

Memberikan peringatan atas kesesatan jalan, seperti di dalam firman Allah:

فَأَيْنَ تَذْهَبُونَ

Artinya: “maka ke manakah kamu akan pergi?” (QS. 81: 26).

Makna memperbanyak, sebagaimana dalam firman Allah:

وَكَم مِّن قَرْيَةٍ أَهْلَكْنَاهَا فَجَآءَهَا بَأْسُنَا بَيَاتًا أَوْ هُمْ قَآئِلُونَ

Artinya: “Betapa banyaknya negeri yang telah Kami binasakan, maka datanglah siksaan Kami (menimpa penduduk) nya di waktu mereka berada di malam hari, atau di waktu mereka beristirahat di tengah hari”. (QS. 7: 4).


Kesimpulan

Dengan melihat berbagai pembahasan mengenai Istifham yang dimulai dari awal hingga akhir, maka kami dari pemateri dapat menyimpulkan beberapa poin mengenai Istifham sebagaimana berikut ini:

1.      Dari definisi yang telah dibahas di atas baik secara etimologis dan terminologis disertai dengan pendapat beberapa ulama’, maka dapat disimpulkan secara umum  bahwasanya Istihfam merupakan sebuah upaya yang dilakukan oleh penanya untuk mendapatkan jawaban atas apa yang belum diketahui atau dipahaminya.

2.      Istifham terbagi menjadi dua bagian, yakni dalam bentuk isim dan huruf. Adapun yang berupa bentuk isim maka berjumlah sembilan macam, sedangkan yang berbentuk huruf berjumlah dua macam.[8]

3.      Istifham pada hakikatnya merupakan upaya untuk memperoleh pemahaman dengan cara menanyakan hal yang belum diketahui maupun dipahami, namun terkadang hakikat penggunaan Istifham dapat berubah jika hal yang dikehendaki sang penanya telah diketahui, hal ini menyesuaikan dengan konteks kalimat yang ada. Adapun perubahan hakikat tersebut sebagaimana yang telah kami jelaskan di atas.

4.      Sejauh pemahaman dan penelusuran pada literatur-literatur yang membahas mengenai pembahasan Istifham, terutama Istifham dalam Al-Qur’an, maka pemakalah menyimpulkan bahwasanya pembahasan tersebut sangatlah banyak disertai dengan istilah-istilah yang beragam pula. Adapun yang pemakalah sampaikan pada makalah ini hanyalah sebagian saja.

 

Daftar Pustaka

 

2006. Al-Qur’an Terjemah Indonesia. Kudus: Penerbit Menara Kudus.

Al-Hasyim, Ahmad. 2005. Jawahir al-Balaghah. Kairo: Penerbit Maktabah Al-Adab. Cetakan kedua.

Anwar, Abu. 2005. Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar. Pekanbaru: Penerbit Amzah. Cetakan kedua.

Chirzin, Muhammad. 1998.  Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. Jakarta: Penerbit Dana Bhakti Prima Yasa. Cetakan pertama.

Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progressif, 1997. Cetakan keempat belas.


[1] Drs. Abu Anwar, M.A.g, 2005. Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar. Pekanbaru: Penerbit Amzah. Cetakan kedua. Hlm vii.

[2] Ahmad Warson Munawwir, 1997. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progressif. Hlm 1075.

[3] Drs. Muhammad Chirzin M.Ag, 1998.  Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. Jakarta: Penerbit Dana Bhakti Prima Yasa. Hlm 177.

[4] Ibid. Hlm 178.

[5] Ibid. Hlm 178.

[6] Ibid. Hlm 178.

[7] Sayyid Ahmad Al-Hasyim. 2005. Jawahir al-Balaghah. Kairo: Penerbit Maktabah Al-Adab. Cetakan kedua. Hlm 72.

[8] Lihat pada buku karya Drs. Muhammad Chirzin M.Ag, 1998.  Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. Jakarta: Penerbit Dana Bhakti Prima Yasa. Hlm 178.